Tanda Tanya "Going The Extra Miles"

Putih Abu-Abu
“Cepat sedikit dek! Emang kamu mau jadi model di sini.” Bentak seorang kakak kelas yang sengaja memasang wajah yang menakutkan. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Beberapa anak disuruh untuk berjalan jongkok dari gerbang tempat dia berdiri sampai ke barisan. Suara yang tadinya hanya berasal dari satu kakak kelas sekarang mulai bersahut-sahutan. Bentakkan demi bentakkan dilontarkan kepada anak yang terlambat pagi ini.
 Sekarang masih jam setengah tujuh pagi, udara pagi masih menusuk tulang. Aku sengaja datang lebih pagi untuk menghadiri masa orientasi sekolah (MOS). Berbaris bersama dengan rapi di lapangan untuk mengikuti upacara pembukaan. Aku masih sempat mencuri pandang ke arah teman-teman yang dihukum karena terlambat. Terlihat seorang yang sepertinya aku kenal. Itu adalah Adam. Aku baru sadar kalau dia juga bersekolah di sini. Kenapa dia mau bersekolah di sini? Aku hanya berniat untuk menyimpan pertanyaan itu.
“Hei dek! Perhatikan orang yang sedang berbicara di depan. Kamu bisa kan menghargai orang yang di depan?” bentak seorang kakak kelas karena melihatku tidak mendengarkan instruksi ketua panitia di depan lapangan. Aku hanya bergegas memperbaiki sikap dan berharap tidak mendapatkan teguran lagi. Kadang aku berpikir kenapa kami harus diperlakukan seperti ini. Memakai aksesoris yang memalukan dan disuruh berbaris layaknya angkatan perang yang sudah kalah perang. Dan tidak hanya itu, beberapa kali kami dibentak karena hal yang tidak jelas bahkan disalahkan tanpa sebab.
Masa orientasi sekolah merupakan salah satu agenda wajib sekolah bagi setiap siswa baru sebelum menempuh proses belajar mengajar di sekolah. MOS ini biasanya dilakukan selama tiga hari. Dwipa juga menerapkan hal yang sama. Akan tetapi pada tahun ini sepertinya beberapa kegiatan MOS yang tidak bermanfaat mulai dikurangi. Aku juga berpendapat sama. Kalau dipikirkan, terkadang acara MOS ini tidak memiliki manfaat nyata bagi kami. Kami hanya dibentak, dimarahi, dihukum dan hal itu berlanjut setiap harinya. Aku hanya berharap acara ini cepat selesai dan segera bisa menjadi seorang anak SMA seutuhnya.
***
Hari pertama sekolah terasa sangat menyenangkan, masa orientasi sekolah telah berakhir. Aku akhirnya merasa sangat bebas ketika acara ini ditutup dengan muhasabah bersama. Sejujurnya, beberapa kegiatan ini sangat membuat kami jengkel walaupun ada beberapa diantara kegiatan yang membuat kesan tersendiri dan tak ingin melupakannya. Kalau kita berpikiran baik tentang kegiatan ini, mungkin kita dapat mengambil pelajarannya. Salah satu pelajarannya yaitu membuat kita semakin kompak, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki mental yang kuat. Walaupun menurutku hal itu masih bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik.
 Seminggu berjalan tanpa ada hal yang spesial di sekolah ini. Hanya merasa sedikit berbeda ketika harus memakai seragam putih abu-abu yang dulunya berseragam putih biru. Aku ditempatkan di kelas X4. Tak ada seorangpun yang aku kenal ketika waktu di MTsN dulu. Aku mendapatkan kenalan baru di kelas ini. Teman yang pertama kali mengajakku kenalan bernama Daud. Dia berasal dari SMP unggulan di kotaku. Aku bisa menjadi akrab dengannya karena dia memiliki sedikit kesamaan denganku. Kami mulai bercerita banyak. Dari kenapa kita memilih Dwipa, membicarakan soal cewek yang cantik di kelas sampai bercerita tentang yang tidak jelas untuk dibahas.
Kalau orang yang tercantik di kelas ya yang jelas dia itu adalah Tari. Gimana pendapatmu? Coba deh perhatikan baik-baik, bukankah dia itu mirip artis?” katanya sambil melirik ke arah seorang cewek yang duduk persis di depan bangku kami.
Ah, gak juga. Sebenarnya sih emang cantik. Mirip Cinta Laura bukan? Haha. Tapi bukankah lebih cantikan teman satu sekolahmu yang itu.” Aku menjawab dengan sedikit ketawa kecil di wajah yang menandakan diriku sedikit malu mengakuinya. Melirik dengan tajam di sudut ruang kelas yang penuh dengan canda tawa teman-teman yang masih setia menunggu kedatangan guru.
“Siapa? Melanie?” tanyanya seolah tahu apa yang aku pikirkan. Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha mengangguk malu. “Ah, kalau aku mah udah bosen sama tampangnya. Hampir tiga tahun aku sekelas dengannya waktu SMP dulu. Yah, sebenarnya cantik sih tapi ngebosenin” sambungnya.
Aku tak perlu menghiraukan dia saat berbicara seperti itu. Ada sedikit rasa tidak senang ketika kita mengagumi seseorang tetapi ditanggapi berbeda oleh orang lain. Setidaknya aku tak perlu merasa kesal ketika itu, beberapa temanku sepakat dengan pendapatku tadi.  Salah satunya Adam, dia bercerita tentang cewek yang cantik di sekolah ini. Dan orang itu salah satunya Melanie. Semenjak aku melihatnya di acara MOS beberapa minggu yang lalu, aku sering sekedar bermain ke kelasnya untuk ngobrol-ngalur-ngidul. Adam tidak lagi sekelas denganku. Walaupun kami masih bisa berada dalam satu sekolah, yaitu sekolah yang tidak sesuai dengan impian yang kami ungkapkan dulu.
Masalah cewek menjadi topik yang hangat waktu pertama kali memasuki masa putih abu-abu. Mungkin masa putih abu-abu lah yang tepat untuk menggambarkan suasana ini. Suasana keingintahuan dalam segala hal. Kami tidak hanya berganti celana dari biru menjadi abu-abu, tapi kami juga berganti pola pikir dari seorang anak-anak menjadi remaja. Abu-abu, warna yang tidak putih dan tidak hitam. Warna yang diibaratkan penuh tanda tanya dan ketidakjelasan. Di sini adalah masa kami untuk mencari tahu jati diri kami, mencari kesenangan kami, mencari sesuatu yang menarik buat kami, salah satunya masalah cinta.
Masalah cinta dan lawan jenis merupakan dua hal yang berbarengan yang ingin sekali diketahui. Aku pun tidak tahu kenapa hal ini merupakan hal yang paling menarik untuk dibahas saat ini. Apakah karena dampak siaran TV yang bisa merubah pola pikir kami sehingga menjadi seperti ini? Atau apakah memang kami sudah merasa dewasa dan harus mengetahui lebih dalam soal cinta? Aku tak menemukan jawabannya. Yang aku tahu hanya semua ini salah satunya ditimbulkan dari tayangan FTV atau Sinetron remaja yang mengajarkan tentang masalah percintaan remaja. Masalah percintaan yang akhirnya merasuk ke bagian otak dan diproses di dalamnya sehingga menghasilkan anggapan yang seperti itu.
***
 “Kayaknya aku belum merasa maksimal deh dengan ujian kemaren.” Kata salah satu siswa yang berdiri di taman sekolah yang berada di depan ruang majelis guru. Percakapan dengan seorang temannya ini terdengar jelas di telingaku ketika aku berjalan untuk menyerahkan berkas tugas ke meja piket. Aku tahu apa yang sedang mereka ceritakan. Pasti mereka sedang bercerita tentang ujian yang diselenggarakan sekolah pada hari minggu kemarin. Ujian penentuan kelas. Di dwipa, tahun ini mulai menerapkan sistem kelas RSBI dan SSN sehingga kami para siswa harus bisa memenuhi standar. Salah satunya dengan mengikuti ujian penentuan kelas. Bentuk ujian penentuan kelas ini dibagi menjadi tiga sesi ujian. Ujiannya yaitu ujian akademik, tes IQ dan ujian pelajaran agama.
Semenjak diterima di Dwipa, aku tidak terlalu tertarik untuk mengurusi hal yang semacam itu. Aku hanya sekedar mengikuti semua kegiatan di sekolah ini tanpa ada motivasi untuk menjadi bermanfaat bagiku. Aku berada di bawah rata-rata orang. Di kelas pun aku hanya sekedar mendengarkan guru-guru yang silih berganti mengajar tanpa ada semangat untuk mengikuti pelajarannya. Apakah ini bentuk protesku kepada diriku sendiri? Mungkin saja. Tapi, masih adakah sedikit rasa syukurku ketika memasuki sekolah ini? Entahlah.
***
Bel tanda istirahat sudah berbunyi, suasana kelas yang sudah gaduh terasa semakin ramai. Beberapa anak kelihatan sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas. Begitu juga denganku. Pikiranku semenjak dari tadi siang sudah berada di luar kelas, bukan karena aku terlalu malas belajar pelajaran fisika tapi memang karena perutku yang sudah tidak tahan lagi menunda lapar. Di luar kelas aku  melihat sahabatku sudah setia menungguiku di teras depan kelas. Aku dan Adam hampir setiap harinya saling bertemu dan bercerita bersama menghabiskan waktu istirahat. Aku bergegas menyusulnya ketika guru fisika mengakhiri kelas siang ini.
“Sudah lihat pengumuman tentang pembagian kelas Yuang?” Tanya Adam kepadaku. Kata ‘Yuang’ merupakan sapaan akrab kami ketika melakukan percakapan dengan bawaan santai.
“Emang sudah keluar ya? Kamu sudah lihat?” jawabku santai tanpa terlalu peduli dengan hasil yang aku terima nantinya. Aku bisa membaca wajahnya yang sedikit tertarik dengan penentuan kelas ini.
“Tadi waktu aku lihat, sepertinya aku berada di kelas X1. Aku juga menemukan nama teman-teman satu kelas waktu di MTsN dulu deh. Nama Ihsan dan Arsal juga ada di kelas itu. Tapi tadi aku tidak melihat namamu di kelas yang sama. Sepertinya kita tidak satu kelas lagi dris. Kamu mau lihat langsung? Ayo aku temanin.” Ajak Adam.
Aku hanya mengangguk tanpa terlalu banyak basa basi. Rasa laparku sepertinya sedikit hilang karena rasa penasaran yang sekarang menyelimuti hatiku. Sedikit demi sedikit rasa ketidakpedulianku terhadap hasil ujian itu semakin pudar. Kelas X1 merupakan kelas unggulan yang ada di Dwipa, katanya kelas itu akan difasilitasi oleh sekolah dan dibina sehingga menjadi kelas RSBI. Apalagi ketika mendengar nama-nama teman sekelasku di MTsN Model dulu sekarang berada dalam satu kelas. Rasanya aku menemukan fantasi rasa yang berbeda. Ah, perasaan macam apa ini? Apakah aku berharap ingin berada di kelas yang sama? Pikiran bodoh dan ketidakpedulianku yang dulu aku ungkapkan sekarang mulai menjadi penyesalan. Penyesalan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Di papan pengumuman aku hanya mendapatkan apa yang aku terima dari Adam tadi. Namaku berada di kelas X2. Kelas yang berada di urutan kedua setelah kelas Adam. Rasa iri dan sesal perlahan muncul di palung hati ini. Aku kembali merasa selalu kalah dengan Adam. Selalu tidak lebih beruntung dari Adam. Dia adalah salah satunya tolak ukur kemampuanku. Dialah motivasi terbesarku untuk menjadi lebih baik. Keinginan untuk melampauinya tidak pernah terwujud. Ini memang salahku. Aku terlalu berlarut-larut dengan kesalahan yang aku perbuat ketika memasuki SMA ini. Orang gagal tidak selamanya menjadi gagal kalau diimbangi dengan usaha. Aku kembali kalah untuk kedua kalinya. Aku hanya menatap kosong papan pengumuman itu dengan diiringi bel masuk yang memanggilku untuk kembali ke kelas. Aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Penyesalan. Adam sepertinya tidak terlalu mau ikut campur dengan pergolakan hatiku. Dia hanya berusaha menghiburku. Dia tahu ketika aku merasa galau. Rona wajahku jelas berubah ketika melihat pengumuman itu. Aku hanya berucap kalau aku bisa memperbaiki ini semua nanti.

Read More …

Kesempatan Selanjutnya
Dilema di hati semakin menusuk ke ubun-ubun otakku. Mungkin tak hanya aku yang menghadapi hal yang sama. Sebagian besar temanku bernasib sama. Terkatung-katung mencari sekolah yang sesuai dengan keinginan tetapi terkendala dengan nilai yang tidak memungkinkan mencapainya.
Aku baru saja lulus dari MTsN Model di kotaku dengan nilai pas-pasan. Rataan nilai 7,5 tidak cukup bagus untuk memasuki sekolah yang diinginkan. Hal itu tak hanya dirasakan oleh aku seorang diri. Hampir sebagian besar teman sekelasku bernasib sama. Berbeda halnya dengan teman kelas lain yang mendapat nilai rataan yang besar 8 sampai 9 ke atas. Padahal kelas kami merupakan kelas unggulan di sekolah, tapi apa yang terjadi? Apa karena kami terlalu memandang remeh ujian sehingga kalah dari yang lain? Kami rasa tidak. Sampai saat ini aku hanya mengubur pertanyaan itu yang sebenarnya sudah kutemukan jawaban. Semua orang tahu apa yang terjadi dengan ujian penentuan kelulusan itu. Ujian Nasional itu!
Aku telah mengunjungi semua Sekolah Menengah yang berada di kotaku. Berharap aku dapat lulus  dan terdaftar di sana. Berbagai ujian saringan aku ikuti. Aku sudah meniatkan untuk memasuki Sekolah Umum setelah lulus dari sekolah agama. Setelah memantapkan ilmu agama maka ini saatnya melanjutkan ilmu yang umum . Aku tahu ini pendapat tidak terlalu baik. Menuntut ilmu dunia dan akhirat itu diwajibkan oleh Allah. Sedikit menyesal dengan anggapan banyak orang bahwa sekolah umum lebih baik daripada sekolah agama. Aku melihat banyak orang memilih Sekolah agama sebagai pilihan terakhir. Sekolah yang hanya dijadikan cadangan dan terabaikan. Sungguh miris. Terkadang karena anggapan itu aku sedikit malas untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah agama walaupun aku lulusan MTsN.
***
 Aku masih ingat kejadian ketika aku berbagi impian tentang masa depan bersama Adam di Mesjid Piaman. Mesjid Piaman yang terletak di Pusat Kota Pariaman yang merupakan tempat kami menghabiskan waktu dan saling berbagi cerita sehabis pulang sekolah. Berbagi tentang masa depan yang kita inginkan. Aku menceritakan apa yang aku inginkan. Keinginanku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku di Sekolah Menengah di Kota Pariaman. Karena orang tuaku juga lebih setuju aku melanjutkan ke sana. sedangkan Adam selalu bercerita bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di SMA terbaik di Kota Padang.  Dan kami  ingin keinginan ini terwujud.
Adam adalah anak dari keluarga yang berkecukupan. Memiliki tubuh yang sedikit kurus tetapi kalau dibandingkan dengan diriku, aku jauh lebih kurus daripadanya. Berparas diatas rata-rata yang membuat semua wanita akan melirik kepadanya. berperawakan rapi dan berkulit putih mulus, selayaknya perawakan anak orang kaya seperti di film-film FTV. Yang kadang membuatku iri kepadanya dalam segala hal. Aku selalu ingin melampauinya dan kadang terbesit ingin seperti dirinya. Aku adalah anak dari keluarga sederhana, semua kebutuhan tercukupi meskipun pas-pasan. Wajahku tak seganteng Adam dan selalu merasa minder kalau berurusan kondisi fisik.
Sepertinya impian-impian kita ketika di mesjid itu tidak berjalan dengan semestinya atau sesuai keinginan. Nilaiku tidak menjadi syarat masuk sekolah favorit yang telah kuidamkan sejak dulu. Aku terpaksa mencari alternatif dengan mendaftar di sekolah lain yang peluangnya lebih besar. Begitu halnya dengan Adam. Nilainya sedikit lebih tinggi dibandingkan nilaiku. Walaupun nilai itu tidak cukup besar untuk bersaing di SMA favorit di Kota Padang.
“Cobalah mendaftar di Madrasah Aliyah yang ada di kota kita ini dulu. Kalau melihat kondisi seperti ini sepertinya nilai kamu tidak bisa menembusnya Dris.” Kata ayahku. Ayahku adalah sosok yang tegas dan selalu bulat dalam mengambil keputusan. Beliau adalah orang yang sangat aku hormati. Kepribadiannya yang keras sangat cocok dan dilengkapi dengan kehadiran Seorang wanita yang lembut seperti Ibuku. Ibu adalah tempat aku berkeluh kesah dan menyampaikan masalah.
Aku hanya terdiam mendengar saran dari ayah. Dari dulu Keinginanku memang sudah bulat ingin melanjutkan ke sekolah umum seperti kakak-kakakku yang lainnya. Apalagi melihat kondisi Madrasah yang saat ini sudah sangat terabaikan. Mungkin saja aku bisa bertahan disana, tapi bagaimana lingkungan disana? Aku tahu pendidikan tentang agama itu sangat baik tapi bagaimana dengan lingkungan di dalamnya. Lingkungan jelas yang mempengaruhi bagaimana kita nantinya.
Setelah mengalami perdebatan panjang dengan hatiku, aku memutuskan untuk meng’iya’kan saran dari ayah. aku mendaftar kesana dan mengikuti ujian masuk. Rasanya sedikit dilema. Bagaimana jika nanti aku diterima disini? apakah aku akan bersedia menjalani keingin yang sebenarnya tidak aku inginkan? aku tetap membulatkan tekat. Allah selalu tahu yang terbaik untuk umat-Nya walaupun ini merupakan jalan menuju kepada Nya.
***
 Pengumuman peneriman siswa hari ini diumumkan di setiap sekolah menengah di kotaku. Berbeda dengan Madrasah Aliyah yang lebih dahulu  mengumunkan kelulusan penerimanan siswa baru. Dan Alhamdullillah, aku diterima di sana. Tapi aku masih berharap bisa masuk SMA. Aku berdesak-desakan dengan orang-orang yang sudah tidak sabar melihat apakah dia diterima di sekolah tersebut. Aku harap-harap cemas.
Sekolah yang pertama kali aku datangi adalah sekolah yang sangat aku inginkan untuk memasukinya yaitu SMA Stupa. Aku sudah tidak yakin akan diterima di sana. Aku takut tidak diterima di Sekolah Idamanku ini. Aku mendekati papan pengumuman itu. Melihat Nilai SKHU yang paling tinggi. Di sana tertulis nomor pendaftar, nama peserta dan nilainya. Aku memperhatikan. Aku melihat nilai teratas yang diterima adalah 9,8. Nilai yang jauh beda denganku yang hanya memiliki rataan 7,6. Miris. Aku berusaha menguatkan hati dan berusaha optimis akan diterima. Akhirnya pencarianku sia-sia. Namaku jauh berada di bawah garis batas penerimaan. Masuk dalam kategori cadangan pun tidak. Sekilas aku melihat nama Adam berada pada cadangan pertama di papan pengumuman itu.
Dengan berkecil hati aku meninggalkan tempat itu dan berlalu menuju sekolah selanjutnya yaitu SMA Dwipa. Sepertinya hal yang sama juga terjadi di sana. Aku hanya mencoba memasuki kerumunan orang yang ingin sekali melihat pengumuman itu. Bola mataku berputar dan mencoba mencari-cari namaku. Aku tak menemukannya. Akhirnya aku berpasrah diri melihat ke kategori penerimaan siswa cadangan. Aku berada pada barisan ke-lima dari garis merah. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Pasrah, lunglai dan tak bersemangat. Kemana harusnya aku melanjutkan sekolah. Ah, aku masih ada harapan untuk diterima di sini dan mengapai keinginanku.
Aku melihat beberapa temanku sangat bahagia dengan kelulusannya di sekolah ini. Berbeda jauh dengan nasibku yang sampai saat ini tidak jelas. Aku harus apa? Untuk menghibur hatiku yang gundah aku berpikiran baik, mungkin tidak hanya aku yang merasakan hal ini. Masih banyak yang lain yang nasibnya sama denganku. Aku berusaha tegar.
Pulang dengan wajah muram dan berlalu tanpa kata di depan ayah yang duduk di ruang tamu tanpa melihat ke arahnya. Aku tidak tahu apa yang akan ku sampaikan kepadanya. Rasanya ini semua terlalu membuatku tidak menjadi apa-apa. Aku merasa gagal, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah masih ada harapan untukku? Aku merasa sangat rendah diri.
Ayah sepertinya tahu dengan apa yang aku rasakan. Beliau mendekatiku. Aku sudah tahu apa yang akan dia tanyakan kepadaku. “Bagaimana hasilnya dris?”. Aku hanya terdiam tanpa kata. Diam sejenak dan mencoba menjawab pertanyaan yang sangat aku tidak sukai ini. “Cadangan yah” jawabku singkat. Hatiku masih belum bisa menerima itu. Aku selalu berpikir kenapa teman-teman yang tidak belajar saja mampu lulus di sana? Mereka bisa memilih sekolah yang dia inginkan tanpa harus terkatung-katung dengan nasib yang belum tentu arah. “Sudahlah, masih ada kesempatan kok. Jangan cepat menyerah begitu. Ambil hikmah dari kejadian ini. Tuhan lebih tahu yang terbaik buat umat-Nya”. Nasehat ayahku terasa berat diterima di hatiku. “Tapi…Banyak dari teman-temanku yang tidak belajar malah dapat memilih sekolah yang diinginkannya. Sedangkan aku? Untuk memasuki sekolah biasa saja aku hanya berada dalam kategori cadangan.” Menyampaikan semua yang ada di benak dan hatiku yang tak mampu lagi kusembunyikan. “Apapun itu, Tuhan lebih tahu nak. Mungkin apa yang kita harapkan tidak akan langsung terwujud. Semua butuh proses. Ada yang langsung terwujud sesuai dengan yang kita harapkan, ada yang diganti dengan yang lebih baik untuk kita atau malah tidak terwujud sama sekali karena tidak cocok dengan kita. Kita hanya butuh ikhlas”. Biasanya Ayah tak pernah berpanjang lebar seperti ini. Aku tahu itu benar. Tapi masih ada hal yang menganjal di sini, di hati ini. Ayah hanya berlalu setelah berucap hal itu.
***
Malam seperti tahu dengan apa yang aku rasakan. Hawa dingin dan badai menemaniku malam ini. Seperti hatiku yang luluh diterpa badai ketidakpastian terhadap nasibku. Aku hanya butuh kepastian. Tapi siapa yang harus aku salahkan? Dengan berpikir seperti ini aku seperti menyalahkan tuhan yang tidak adil denganku. Ah, pikiran bodoh! Bukankah ini juga salahku yang tidak mempersiapkannya dengan maksimal? Bukankah usaha sebanding dengan hasil? Berarti apakah aku yang belum melakukan itu? Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak berusaha tapi mendapatkan yang mereka inginkan dengan mudah? Hatiku semakin galau. Hujan mengiringiku dalam peraduan. Setelah lelah berdebat dengan hatiku, aku terlelap dan berharap saat pengumuman itu aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Pengumuman cadangan diumumkan hari ini setelah para siswa yang telah dinyatakan lulus melakukan pendaftaran ulang di sekolah tersebut. Aku berharap hari ini mendapatkan kabar gembira. Aku berusaha optimis dari sebelumnya. Ini kesempatanku yang terakhir. Dua papan besar dengan puluhan kertas telah ditempel di atasnya. Puluhan siswa yang belum tahu nasibnya seperti diriku berkerumun di depan papan itu. Seperti anak ayam yang diberi makan. Berdesak desakkan dengan menaruh harapan namanya tertempel di papan tersebut. Akhirnya aku bisa menerobos kerumunan itu. Aku meneliti satu per satu kertas yang ada di papan itu berharap namaku. Aku melihatnya lagi dengan seksama. Aku tahu nomor urutan itu. Nomor itu dikuti dengan nama pendaftar ‘Muhammad Idris’. Alhamdulillah, aku lulus. Rasanya aku sangat lega dengan hal ini. Tak pernah aku merasa selega ini. Tak henti-hentinya aku berucap syukur kepadaNya. Ternyata ayah benar. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatNya. Mungkin inilah yang terbaik untukku, untuk masa depanku.

Read More …

Dilema Hari dan Kenangan

Awan bergumpal di langit kota yang sejuk ini, hujan seperti segan untuk turun meskipun kota ini disebut dengan kota hujan. Gerimis menemani perjalanan panjangku ke sini. Gagang koper yang masih kupegang erat di tangan, ember , bantal dan guling pun setia menemani perjalananku. Aku masih tak menyangka aku berada di sini hari ini.

"Assalamua'laikum, Selamat datang. mau registrasi kamar?" kata seorang laki-laki yang jelas dari raut wajahnya selalu ceria. Umurnya tidak jauh beda denganku. "boleh lihat suratnya?". Aku memberikan kertas yang tadi kudapat dari registrasi sebelum masuk asrama ini. Aku masih merasa setengah sadar ketika berada di salah satu gedung dari tiga gedung dalam kompleks Asrama Putra di Institut ini. Aku telah sampai di sini. Dan akan memulai kehidupan baru di sini.

"Muhammad Idris. Benarkan?" aku tak mengacuhkan panggilan itu dan terdiam memperhatikan keadaan sekitar.  pria itu kembali bertanya kepadaku yang membuat aku sadar dari lamunan. Dia memanggil namaku setelah mengecek daftar nama berdasarkan surat yang aku berikan kepadanya. “Perkenalkan, saya Altar. Saya merupakan Senior Resident  atau SR di Asrama C1 ini. SR itu adalah kakak tingkat yang akan menjadi penanggung jawab teman-teman selama berada di sini”. dia menjabat tanganku. Aku hanya mengangguk-angguk kecil.

"Silahkan, Ini kunci kamar dan pin angkatan baru. Untuk kamar 25 Lorong 3 berada di sebelah sana, silahkan ikuti saja lorong itu". Dia menunjuk ke arah kananku.

"Iya, terima kasih kak" jawabku sambil menoleh ke arah yang dimaksud.
***
Gedung C1,  gedung yang akan aku tempati untuk setahun ke depan. Ini sesuai dengan aturan kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa baru wajib tinggal di asrama kampus. Asrama itu disebut dengan asrama TPB. Asrama ini terdiri dari Asrama Putri dan Asrama Putra. Asrama putri terletak lebih dekat dengan jalan raya di luar kampus. Sedangkan untuk Asrama putra berada di pinggir lingkungan kampus tepatnya di belakang gerbang kampus. Asrama Putra (Astra) memiliki 4 gedung dengan satu gedung terpisah dari kompleks astra. Setiap gedung bernama C1, C2, C3 dan C4 (Sylva) . Dan setiap  gedung memiliki ciri bangunan yang sama. Begitu juga dengan Asrama Putri (Astri). Walaupun gedung Astri lebih banyak dibandingkan astra, yang terdiri dari A1, A2,A3,A4 (Rusunawa), A5 (Sylva).

Regitrasi Asrama sudah dimulai semenjak siang tadi. Para penghuni asrama baru sudah sibuk dengan kelengkapan barangnya. Begitu juga denganku. Aku masih memperhatikan kesibukan orang-orang yang mungkin saja bisa aku ajak untuk berteman. Tapi niat itu tak terlaksana karena sifatku yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku masih merasa janggal. Aku berdiri memegang gagang koper yang telah aku tarik kesana kemari bersama barang-barang lainnya.

Setelah mendapatkan kunci kamar yang diberikan kakak yang tadi, aku langsung bergegas menuju kamar yang telah ditunjukkan lokasinya. Langkah demi langkah aku telusuri di gedung ini. Gedung ini sangat janggal bagiku. Ini pertama kalinya aku melihat bangunan yang terdiri dari banyak kamar. Setiap kamar saling berhadap-hadapan sehingga membentuk lorong yang menjadi jalan diantara kamar-kamar itu. Di setiap pintu kamar dilabeli dengan nomor sesuai dengan urutannya.

Aku kembali mengecek surat dan kunci yang diberikan kakak tadi. Di kertas itu tertuliskan Gedung C1 kamar 25. Aku memperhatikan satu per satu label nomor kamar yang terpajang di depan pintu kamar tersebut. Lorong yang aku lewati itu dimulai dengan kamar 11. Aku mengeja dan memperhatikan dengan seksama. Di sepanjang jalan yang aku lewati, penghuni asrama sibuk memberesi kamarnya masing-masing bagi yang telah menemukannya. Ujung dari lorong ini telah aku lalui. Di ujung itu terdapat beberapa kamar mandi yang juga berjejer seperti kamar tadi, yang membedakannya hanya kamar mandi itu lebih kecil dan terletak di sudut lorong.

Lorong tadi itu disebut dengan lorong 2. Sekarang aku berbelok dan memasuki lorong 3  yang nantinya akan menjadi lorongku. aku kembali mengeja nomor-nomor kamar tersebut. ‘kamar 25’. Kamar ini yang aku cari. Aku membuka gagang pintu dan mencoba membukanya. Pintunya tidak mau terbuka. Sepertinya belum ada orang di dalamnya. Kabarnya setiap kamar akan di isi tiga sampai empat orang dan aku adalah orang pertama yang membuka kamar 25 ini. Aku mengeluarkan kunciku dan membuka pintu kamar.

Aku memasukinya sambil mengucapkan salam. Hawa di kamar ini sangat sejuk karena jendelanya berhadapan langsung dengan pepohonan yang rimbun. kamar ini mungkin sudah satu sampai dua minggu ditinggalkan oleh penghuni lamanya yaitu kakak angkatan tahun kemarin. Di dalam kamar terdapat sepasang tempat tidur yang bertingkat, empat buah meja belajar dan empat buah lemari yang bersambung. Kamar ini masih bersih. Mungkin sengaja dibersihkan sebelum kamar ini ditinggalkan penghuni sebelumnya. Hal itu jelas terlihat dari sisa-sisa pengumuman untuk kebersihan dan kelengkapan kamar yang terpampang di depan kamar ini.

Inginku lepaskan penat dan langsung berbaring di atas kasur yang ada di dipan. Tapi hal itu kuurungkan terlebih dahulu, karena masih belum di alasi dengan seprai. Aku membuka koper dan menyiapkan apa saja yang perlu disiapkan. Memasang seprai, memasukan barang ke dalam lemari dan membersihkan tempat yang agak sedikit berdebu.

Tok...tok...tok..” itu bunyi pintu yang juga diiringin dengan salam. Pintu pun terbuka. Ada seseorang yang memasuki kamar ini. Mungkin dia kamar sekamarku untuk setahun ke depan. Dan itu benar. Aku menyapanya dan dia balik menyapa.

“Hi, Aku idris. Aku dari Pariaman. kamu? Kita satu kamar ya” sapaku.

“Ya, Aku Bilal dari Jakarta. sudah lama ya? tanyanya basa basi.

Percakapan kami dimulai dengan kalimat-kalimat canggung seperti itu. Walaupun disadari dalam setiap percakapan lebih banyak jedanya tapi setidaknya kamu telah melakukan dua orang beru kenal. Bilal berasal dari Jakarta sedangkan aku dari Pariaman. Awalnya aku berpikir Bilal akan bertanya tentang Pariaman atau sebagainya. Tapi ternyata dia tidak banyak omong sama sepertiku. Padahal kalau saja dia bertanya tentang kotaku pasti, aku akan menceritakannya sedikit. Mungkin saja dia sudah tahu sehingga tidak mempertanyakannya lagi. Karena akhir-akhir ini Pariaman sedikit terekspos di media karena merupakan daerah rawan gempa di Sumatera Barat.
***
Adzan maghrib telah mengema. Suasana asrama sepertinya belum terasa begitu ramai. Tapi sebagian hatiku masih tertinggal tentang masa lalu. Apakah aku siap dengan kehidupanku yang sekarang. Aku merenung kecil di akhir sujudku. Ini adalah keputusan yang kubuat. Tapi kenapa rasanya begitu berat ketika memikirkannya. Rasa sesak. Aku bahagia ketika memulai hari ini, tapi di sisi yang lainnya hatiku berat memulainya. Aku hanya terdiam kaku di kamar ini. Kadang aku hanya bertanya pada diriku tentang apa yang sebenarnya aku ingin. Aku tak mengerti diriku sendiri.

Rasanya hari pertamaku di asrama diliputi rasa yang tak menentu. merasa sangat sedih dan terkadang tersenyum kecil di balik hati. Aku sebenarnya tidak mau memperturutkan perasaan ini, tetapi hal itu masih saja merasuki pikiranku. Malam telah tiba, aku dan Bilal masih berada di dalam kamar. Kami hanya sibuk dengan diri masing-masing. Sampai aku lihat Bilal telah tertidur di tempat tidurnya. Aku tak bisa tidur. Aku berusaha untuk memejamkan mata ini, tapi tetap saja tidak bisa. Aku mencari sesuatu yang dapat aku kerjakan. Aku tahu, Aku tahu yang akan aku kerjakan ketika merasakan hal seperti ini. Pekerjaan yang dapat menghilangkan sedih dan bebanku sejenak yaitu diariku. Aku keluarkan buku yang bertuliskan “SIAPA SAYA?” disampul buku itu, dan aku mencoba untuk menulis yang terjadi hari ini. Tapi...hatiku berkata lain. Aku tak ingin menulis hari ini, aku hanya ingin membaca kejadian yang telah terjadi kepadaku dulu.

Aku membuka buku itu dari awal dan aku membacanya dengan perlahan. Satu, dua dan tiga kalimat aku selesaikan. Aku kembali terbawa dengan kenangan masa-masa itu. Aku kembali masuk ke dalam kejadian itu.
Read More …

Aku masih mempertanyakannya. "Siapa aku?". Semakin aku mencoba untuk mencari jawabannya, semakin aku tak menemukanya. Aku ulangi perlahan kata-kata itu dan bertanya dalam hati. "Siapa aku?". Aku berharap secercah cahaya memberi penerang untuk menjawab pertanyaan mudah ini. Masih tidak kutemui jawabannya.

Aku pun beralih dengan pertanyaan lainnya. "Apa yang aku inginkan?". Haruskah aku menjawab dengan kata "Sesuatu!". Aku tidak yakin. Batinku menentangnya, benarkah itu yang aku inginkan selama ini? Aku saja tak mengenal diriku, bagaimana bisa aku tahu yang aku inginkan ketika aku tak mengenal diriku sendiri?

Tanda tanya besar kehidupan ini belum aku temukan. Tanda besar ini pasti akan aku jawab dengan kebulatan hatiku suatu saat nanti. Aku hanya perlu bersabar menunggu jawabannya. Aku menulis ini untuk menjawab Tanda tanya itu!

Aku adalah masa depanku nanti.
        
Read More …