Tanda Tanya "Going The Extra Miles"

Putih Abu-Abu
“Cepat sedikit dek! Emang kamu mau jadi model di sini.” Bentak seorang kakak kelas yang sengaja memasang wajah yang menakutkan. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Beberapa anak disuruh untuk berjalan jongkok dari gerbang tempat dia berdiri sampai ke barisan. Suara yang tadinya hanya berasal dari satu kakak kelas sekarang mulai bersahut-sahutan. Bentakkan demi bentakkan dilontarkan kepada anak yang terlambat pagi ini.
 Sekarang masih jam setengah tujuh pagi, udara pagi masih menusuk tulang. Aku sengaja datang lebih pagi untuk menghadiri masa orientasi sekolah (MOS). Berbaris bersama dengan rapi di lapangan untuk mengikuti upacara pembukaan. Aku masih sempat mencuri pandang ke arah teman-teman yang dihukum karena terlambat. Terlihat seorang yang sepertinya aku kenal. Itu adalah Adam. Aku baru sadar kalau dia juga bersekolah di sini. Kenapa dia mau bersekolah di sini? Aku hanya berniat untuk menyimpan pertanyaan itu.
“Hei dek! Perhatikan orang yang sedang berbicara di depan. Kamu bisa kan menghargai orang yang di depan?” bentak seorang kakak kelas karena melihatku tidak mendengarkan instruksi ketua panitia di depan lapangan. Aku hanya bergegas memperbaiki sikap dan berharap tidak mendapatkan teguran lagi. Kadang aku berpikir kenapa kami harus diperlakukan seperti ini. Memakai aksesoris yang memalukan dan disuruh berbaris layaknya angkatan perang yang sudah kalah perang. Dan tidak hanya itu, beberapa kali kami dibentak karena hal yang tidak jelas bahkan disalahkan tanpa sebab.
Masa orientasi sekolah merupakan salah satu agenda wajib sekolah bagi setiap siswa baru sebelum menempuh proses belajar mengajar di sekolah. MOS ini biasanya dilakukan selama tiga hari. Dwipa juga menerapkan hal yang sama. Akan tetapi pada tahun ini sepertinya beberapa kegiatan MOS yang tidak bermanfaat mulai dikurangi. Aku juga berpendapat sama. Kalau dipikirkan, terkadang acara MOS ini tidak memiliki manfaat nyata bagi kami. Kami hanya dibentak, dimarahi, dihukum dan hal itu berlanjut setiap harinya. Aku hanya berharap acara ini cepat selesai dan segera bisa menjadi seorang anak SMA seutuhnya.
***
Hari pertama sekolah terasa sangat menyenangkan, masa orientasi sekolah telah berakhir. Aku akhirnya merasa sangat bebas ketika acara ini ditutup dengan muhasabah bersama. Sejujurnya, beberapa kegiatan ini sangat membuat kami jengkel walaupun ada beberapa diantara kegiatan yang membuat kesan tersendiri dan tak ingin melupakannya. Kalau kita berpikiran baik tentang kegiatan ini, mungkin kita dapat mengambil pelajarannya. Salah satu pelajarannya yaitu membuat kita semakin kompak, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki mental yang kuat. Walaupun menurutku hal itu masih bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik.
 Seminggu berjalan tanpa ada hal yang spesial di sekolah ini. Hanya merasa sedikit berbeda ketika harus memakai seragam putih abu-abu yang dulunya berseragam putih biru. Aku ditempatkan di kelas X4. Tak ada seorangpun yang aku kenal ketika waktu di MTsN dulu. Aku mendapatkan kenalan baru di kelas ini. Teman yang pertama kali mengajakku kenalan bernama Daud. Dia berasal dari SMP unggulan di kotaku. Aku bisa menjadi akrab dengannya karena dia memiliki sedikit kesamaan denganku. Kami mulai bercerita banyak. Dari kenapa kita memilih Dwipa, membicarakan soal cewek yang cantik di kelas sampai bercerita tentang yang tidak jelas untuk dibahas.
Kalau orang yang tercantik di kelas ya yang jelas dia itu adalah Tari. Gimana pendapatmu? Coba deh perhatikan baik-baik, bukankah dia itu mirip artis?” katanya sambil melirik ke arah seorang cewek yang duduk persis di depan bangku kami.
Ah, gak juga. Sebenarnya sih emang cantik. Mirip Cinta Laura bukan? Haha. Tapi bukankah lebih cantikan teman satu sekolahmu yang itu.” Aku menjawab dengan sedikit ketawa kecil di wajah yang menandakan diriku sedikit malu mengakuinya. Melirik dengan tajam di sudut ruang kelas yang penuh dengan canda tawa teman-teman yang masih setia menunggu kedatangan guru.
“Siapa? Melanie?” tanyanya seolah tahu apa yang aku pikirkan. Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha mengangguk malu. “Ah, kalau aku mah udah bosen sama tampangnya. Hampir tiga tahun aku sekelas dengannya waktu SMP dulu. Yah, sebenarnya cantik sih tapi ngebosenin” sambungnya.
Aku tak perlu menghiraukan dia saat berbicara seperti itu. Ada sedikit rasa tidak senang ketika kita mengagumi seseorang tetapi ditanggapi berbeda oleh orang lain. Setidaknya aku tak perlu merasa kesal ketika itu, beberapa temanku sepakat dengan pendapatku tadi.  Salah satunya Adam, dia bercerita tentang cewek yang cantik di sekolah ini. Dan orang itu salah satunya Melanie. Semenjak aku melihatnya di acara MOS beberapa minggu yang lalu, aku sering sekedar bermain ke kelasnya untuk ngobrol-ngalur-ngidul. Adam tidak lagi sekelas denganku. Walaupun kami masih bisa berada dalam satu sekolah, yaitu sekolah yang tidak sesuai dengan impian yang kami ungkapkan dulu.
Masalah cewek menjadi topik yang hangat waktu pertama kali memasuki masa putih abu-abu. Mungkin masa putih abu-abu lah yang tepat untuk menggambarkan suasana ini. Suasana keingintahuan dalam segala hal. Kami tidak hanya berganti celana dari biru menjadi abu-abu, tapi kami juga berganti pola pikir dari seorang anak-anak menjadi remaja. Abu-abu, warna yang tidak putih dan tidak hitam. Warna yang diibaratkan penuh tanda tanya dan ketidakjelasan. Di sini adalah masa kami untuk mencari tahu jati diri kami, mencari kesenangan kami, mencari sesuatu yang menarik buat kami, salah satunya masalah cinta.
Masalah cinta dan lawan jenis merupakan dua hal yang berbarengan yang ingin sekali diketahui. Aku pun tidak tahu kenapa hal ini merupakan hal yang paling menarik untuk dibahas saat ini. Apakah karena dampak siaran TV yang bisa merubah pola pikir kami sehingga menjadi seperti ini? Atau apakah memang kami sudah merasa dewasa dan harus mengetahui lebih dalam soal cinta? Aku tak menemukan jawabannya. Yang aku tahu hanya semua ini salah satunya ditimbulkan dari tayangan FTV atau Sinetron remaja yang mengajarkan tentang masalah percintaan remaja. Masalah percintaan yang akhirnya merasuk ke bagian otak dan diproses di dalamnya sehingga menghasilkan anggapan yang seperti itu.
***
 “Kayaknya aku belum merasa maksimal deh dengan ujian kemaren.” Kata salah satu siswa yang berdiri di taman sekolah yang berada di depan ruang majelis guru. Percakapan dengan seorang temannya ini terdengar jelas di telingaku ketika aku berjalan untuk menyerahkan berkas tugas ke meja piket. Aku tahu apa yang sedang mereka ceritakan. Pasti mereka sedang bercerita tentang ujian yang diselenggarakan sekolah pada hari minggu kemarin. Ujian penentuan kelas. Di dwipa, tahun ini mulai menerapkan sistem kelas RSBI dan SSN sehingga kami para siswa harus bisa memenuhi standar. Salah satunya dengan mengikuti ujian penentuan kelas. Bentuk ujian penentuan kelas ini dibagi menjadi tiga sesi ujian. Ujiannya yaitu ujian akademik, tes IQ dan ujian pelajaran agama.
Semenjak diterima di Dwipa, aku tidak terlalu tertarik untuk mengurusi hal yang semacam itu. Aku hanya sekedar mengikuti semua kegiatan di sekolah ini tanpa ada motivasi untuk menjadi bermanfaat bagiku. Aku berada di bawah rata-rata orang. Di kelas pun aku hanya sekedar mendengarkan guru-guru yang silih berganti mengajar tanpa ada semangat untuk mengikuti pelajarannya. Apakah ini bentuk protesku kepada diriku sendiri? Mungkin saja. Tapi, masih adakah sedikit rasa syukurku ketika memasuki sekolah ini? Entahlah.
***
Bel tanda istirahat sudah berbunyi, suasana kelas yang sudah gaduh terasa semakin ramai. Beberapa anak kelihatan sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas. Begitu juga denganku. Pikiranku semenjak dari tadi siang sudah berada di luar kelas, bukan karena aku terlalu malas belajar pelajaran fisika tapi memang karena perutku yang sudah tidak tahan lagi menunda lapar. Di luar kelas aku  melihat sahabatku sudah setia menungguiku di teras depan kelas. Aku dan Adam hampir setiap harinya saling bertemu dan bercerita bersama menghabiskan waktu istirahat. Aku bergegas menyusulnya ketika guru fisika mengakhiri kelas siang ini.
“Sudah lihat pengumuman tentang pembagian kelas Yuang?” Tanya Adam kepadaku. Kata ‘Yuang’ merupakan sapaan akrab kami ketika melakukan percakapan dengan bawaan santai.
“Emang sudah keluar ya? Kamu sudah lihat?” jawabku santai tanpa terlalu peduli dengan hasil yang aku terima nantinya. Aku bisa membaca wajahnya yang sedikit tertarik dengan penentuan kelas ini.
“Tadi waktu aku lihat, sepertinya aku berada di kelas X1. Aku juga menemukan nama teman-teman satu kelas waktu di MTsN dulu deh. Nama Ihsan dan Arsal juga ada di kelas itu. Tapi tadi aku tidak melihat namamu di kelas yang sama. Sepertinya kita tidak satu kelas lagi dris. Kamu mau lihat langsung? Ayo aku temanin.” Ajak Adam.
Aku hanya mengangguk tanpa terlalu banyak basa basi. Rasa laparku sepertinya sedikit hilang karena rasa penasaran yang sekarang menyelimuti hatiku. Sedikit demi sedikit rasa ketidakpedulianku terhadap hasil ujian itu semakin pudar. Kelas X1 merupakan kelas unggulan yang ada di Dwipa, katanya kelas itu akan difasilitasi oleh sekolah dan dibina sehingga menjadi kelas RSBI. Apalagi ketika mendengar nama-nama teman sekelasku di MTsN Model dulu sekarang berada dalam satu kelas. Rasanya aku menemukan fantasi rasa yang berbeda. Ah, perasaan macam apa ini? Apakah aku berharap ingin berada di kelas yang sama? Pikiran bodoh dan ketidakpedulianku yang dulu aku ungkapkan sekarang mulai menjadi penyesalan. Penyesalan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Di papan pengumuman aku hanya mendapatkan apa yang aku terima dari Adam tadi. Namaku berada di kelas X2. Kelas yang berada di urutan kedua setelah kelas Adam. Rasa iri dan sesal perlahan muncul di palung hati ini. Aku kembali merasa selalu kalah dengan Adam. Selalu tidak lebih beruntung dari Adam. Dia adalah salah satunya tolak ukur kemampuanku. Dialah motivasi terbesarku untuk menjadi lebih baik. Keinginan untuk melampauinya tidak pernah terwujud. Ini memang salahku. Aku terlalu berlarut-larut dengan kesalahan yang aku perbuat ketika memasuki SMA ini. Orang gagal tidak selamanya menjadi gagal kalau diimbangi dengan usaha. Aku kembali kalah untuk kedua kalinya. Aku hanya menatap kosong papan pengumuman itu dengan diiringi bel masuk yang memanggilku untuk kembali ke kelas. Aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Penyesalan. Adam sepertinya tidak terlalu mau ikut campur dengan pergolakan hatiku. Dia hanya berusaha menghiburku. Dia tahu ketika aku merasa galau. Rona wajahku jelas berubah ketika melihat pengumuman itu. Aku hanya berucap kalau aku bisa memperbaiki ini semua nanti.

Categories:

Leave a Reply