Tanda Tanya "Going The Extra Miles"

Kesempatan Selanjutnya
Dilema di hati semakin menusuk ke ubun-ubun otakku. Mungkin tak hanya aku yang menghadapi hal yang sama. Sebagian besar temanku bernasib sama. Terkatung-katung mencari sekolah yang sesuai dengan keinginan tetapi terkendala dengan nilai yang tidak memungkinkan mencapainya.
Aku baru saja lulus dari MTsN Model di kotaku dengan nilai pas-pasan. Rataan nilai 7,5 tidak cukup bagus untuk memasuki sekolah yang diinginkan. Hal itu tak hanya dirasakan oleh aku seorang diri. Hampir sebagian besar teman sekelasku bernasib sama. Berbeda halnya dengan teman kelas lain yang mendapat nilai rataan yang besar 8 sampai 9 ke atas. Padahal kelas kami merupakan kelas unggulan di sekolah, tapi apa yang terjadi? Apa karena kami terlalu memandang remeh ujian sehingga kalah dari yang lain? Kami rasa tidak. Sampai saat ini aku hanya mengubur pertanyaan itu yang sebenarnya sudah kutemukan jawaban. Semua orang tahu apa yang terjadi dengan ujian penentuan kelulusan itu. Ujian Nasional itu!
Aku telah mengunjungi semua Sekolah Menengah yang berada di kotaku. Berharap aku dapat lulus  dan terdaftar di sana. Berbagai ujian saringan aku ikuti. Aku sudah meniatkan untuk memasuki Sekolah Umum setelah lulus dari sekolah agama. Setelah memantapkan ilmu agama maka ini saatnya melanjutkan ilmu yang umum . Aku tahu ini pendapat tidak terlalu baik. Menuntut ilmu dunia dan akhirat itu diwajibkan oleh Allah. Sedikit menyesal dengan anggapan banyak orang bahwa sekolah umum lebih baik daripada sekolah agama. Aku melihat banyak orang memilih Sekolah agama sebagai pilihan terakhir. Sekolah yang hanya dijadikan cadangan dan terabaikan. Sungguh miris. Terkadang karena anggapan itu aku sedikit malas untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah agama walaupun aku lulusan MTsN.
***
 Aku masih ingat kejadian ketika aku berbagi impian tentang masa depan bersama Adam di Mesjid Piaman. Mesjid Piaman yang terletak di Pusat Kota Pariaman yang merupakan tempat kami menghabiskan waktu dan saling berbagi cerita sehabis pulang sekolah. Berbagi tentang masa depan yang kita inginkan. Aku menceritakan apa yang aku inginkan. Keinginanku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku di Sekolah Menengah di Kota Pariaman. Karena orang tuaku juga lebih setuju aku melanjutkan ke sana. sedangkan Adam selalu bercerita bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di SMA terbaik di Kota Padang.  Dan kami  ingin keinginan ini terwujud.
Adam adalah anak dari keluarga yang berkecukupan. Memiliki tubuh yang sedikit kurus tetapi kalau dibandingkan dengan diriku, aku jauh lebih kurus daripadanya. Berparas diatas rata-rata yang membuat semua wanita akan melirik kepadanya. berperawakan rapi dan berkulit putih mulus, selayaknya perawakan anak orang kaya seperti di film-film FTV. Yang kadang membuatku iri kepadanya dalam segala hal. Aku selalu ingin melampauinya dan kadang terbesit ingin seperti dirinya. Aku adalah anak dari keluarga sederhana, semua kebutuhan tercukupi meskipun pas-pasan. Wajahku tak seganteng Adam dan selalu merasa minder kalau berurusan kondisi fisik.
Sepertinya impian-impian kita ketika di mesjid itu tidak berjalan dengan semestinya atau sesuai keinginan. Nilaiku tidak menjadi syarat masuk sekolah favorit yang telah kuidamkan sejak dulu. Aku terpaksa mencari alternatif dengan mendaftar di sekolah lain yang peluangnya lebih besar. Begitu halnya dengan Adam. Nilainya sedikit lebih tinggi dibandingkan nilaiku. Walaupun nilai itu tidak cukup besar untuk bersaing di SMA favorit di Kota Padang.
“Cobalah mendaftar di Madrasah Aliyah yang ada di kota kita ini dulu. Kalau melihat kondisi seperti ini sepertinya nilai kamu tidak bisa menembusnya Dris.” Kata ayahku. Ayahku adalah sosok yang tegas dan selalu bulat dalam mengambil keputusan. Beliau adalah orang yang sangat aku hormati. Kepribadiannya yang keras sangat cocok dan dilengkapi dengan kehadiran Seorang wanita yang lembut seperti Ibuku. Ibu adalah tempat aku berkeluh kesah dan menyampaikan masalah.
Aku hanya terdiam mendengar saran dari ayah. Dari dulu Keinginanku memang sudah bulat ingin melanjutkan ke sekolah umum seperti kakak-kakakku yang lainnya. Apalagi melihat kondisi Madrasah yang saat ini sudah sangat terabaikan. Mungkin saja aku bisa bertahan disana, tapi bagaimana lingkungan disana? Aku tahu pendidikan tentang agama itu sangat baik tapi bagaimana dengan lingkungan di dalamnya. Lingkungan jelas yang mempengaruhi bagaimana kita nantinya.
Setelah mengalami perdebatan panjang dengan hatiku, aku memutuskan untuk meng’iya’kan saran dari ayah. aku mendaftar kesana dan mengikuti ujian masuk. Rasanya sedikit dilema. Bagaimana jika nanti aku diterima disini? apakah aku akan bersedia menjalani keingin yang sebenarnya tidak aku inginkan? aku tetap membulatkan tekat. Allah selalu tahu yang terbaik untuk umat-Nya walaupun ini merupakan jalan menuju kepada Nya.
***
 Pengumuman peneriman siswa hari ini diumumkan di setiap sekolah menengah di kotaku. Berbeda dengan Madrasah Aliyah yang lebih dahulu  mengumunkan kelulusan penerimanan siswa baru. Dan Alhamdullillah, aku diterima di sana. Tapi aku masih berharap bisa masuk SMA. Aku berdesak-desakan dengan orang-orang yang sudah tidak sabar melihat apakah dia diterima di sekolah tersebut. Aku harap-harap cemas.
Sekolah yang pertama kali aku datangi adalah sekolah yang sangat aku inginkan untuk memasukinya yaitu SMA Stupa. Aku sudah tidak yakin akan diterima di sana. Aku takut tidak diterima di Sekolah Idamanku ini. Aku mendekati papan pengumuman itu. Melihat Nilai SKHU yang paling tinggi. Di sana tertulis nomor pendaftar, nama peserta dan nilainya. Aku memperhatikan. Aku melihat nilai teratas yang diterima adalah 9,8. Nilai yang jauh beda denganku yang hanya memiliki rataan 7,6. Miris. Aku berusaha menguatkan hati dan berusaha optimis akan diterima. Akhirnya pencarianku sia-sia. Namaku jauh berada di bawah garis batas penerimaan. Masuk dalam kategori cadangan pun tidak. Sekilas aku melihat nama Adam berada pada cadangan pertama di papan pengumuman itu.
Dengan berkecil hati aku meninggalkan tempat itu dan berlalu menuju sekolah selanjutnya yaitu SMA Dwipa. Sepertinya hal yang sama juga terjadi di sana. Aku hanya mencoba memasuki kerumunan orang yang ingin sekali melihat pengumuman itu. Bola mataku berputar dan mencoba mencari-cari namaku. Aku tak menemukannya. Akhirnya aku berpasrah diri melihat ke kategori penerimaan siswa cadangan. Aku berada pada barisan ke-lima dari garis merah. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Pasrah, lunglai dan tak bersemangat. Kemana harusnya aku melanjutkan sekolah. Ah, aku masih ada harapan untuk diterima di sini dan mengapai keinginanku.
Aku melihat beberapa temanku sangat bahagia dengan kelulusannya di sekolah ini. Berbeda jauh dengan nasibku yang sampai saat ini tidak jelas. Aku harus apa? Untuk menghibur hatiku yang gundah aku berpikiran baik, mungkin tidak hanya aku yang merasakan hal ini. Masih banyak yang lain yang nasibnya sama denganku. Aku berusaha tegar.
Pulang dengan wajah muram dan berlalu tanpa kata di depan ayah yang duduk di ruang tamu tanpa melihat ke arahnya. Aku tidak tahu apa yang akan ku sampaikan kepadanya. Rasanya ini semua terlalu membuatku tidak menjadi apa-apa. Aku merasa gagal, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah masih ada harapan untukku? Aku merasa sangat rendah diri.
Ayah sepertinya tahu dengan apa yang aku rasakan. Beliau mendekatiku. Aku sudah tahu apa yang akan dia tanyakan kepadaku. “Bagaimana hasilnya dris?”. Aku hanya terdiam tanpa kata. Diam sejenak dan mencoba menjawab pertanyaan yang sangat aku tidak sukai ini. “Cadangan yah” jawabku singkat. Hatiku masih belum bisa menerima itu. Aku selalu berpikir kenapa teman-teman yang tidak belajar saja mampu lulus di sana? Mereka bisa memilih sekolah yang dia inginkan tanpa harus terkatung-katung dengan nasib yang belum tentu arah. “Sudahlah, masih ada kesempatan kok. Jangan cepat menyerah begitu. Ambil hikmah dari kejadian ini. Tuhan lebih tahu yang terbaik buat umat-Nya”. Nasehat ayahku terasa berat diterima di hatiku. “Tapi…Banyak dari teman-temanku yang tidak belajar malah dapat memilih sekolah yang diinginkannya. Sedangkan aku? Untuk memasuki sekolah biasa saja aku hanya berada dalam kategori cadangan.” Menyampaikan semua yang ada di benak dan hatiku yang tak mampu lagi kusembunyikan. “Apapun itu, Tuhan lebih tahu nak. Mungkin apa yang kita harapkan tidak akan langsung terwujud. Semua butuh proses. Ada yang langsung terwujud sesuai dengan yang kita harapkan, ada yang diganti dengan yang lebih baik untuk kita atau malah tidak terwujud sama sekali karena tidak cocok dengan kita. Kita hanya butuh ikhlas”. Biasanya Ayah tak pernah berpanjang lebar seperti ini. Aku tahu itu benar. Tapi masih ada hal yang menganjal di sini, di hati ini. Ayah hanya berlalu setelah berucap hal itu.
***
Malam seperti tahu dengan apa yang aku rasakan. Hawa dingin dan badai menemaniku malam ini. Seperti hatiku yang luluh diterpa badai ketidakpastian terhadap nasibku. Aku hanya butuh kepastian. Tapi siapa yang harus aku salahkan? Dengan berpikir seperti ini aku seperti menyalahkan tuhan yang tidak adil denganku. Ah, pikiran bodoh! Bukankah ini juga salahku yang tidak mempersiapkannya dengan maksimal? Bukankah usaha sebanding dengan hasil? Berarti apakah aku yang belum melakukan itu? Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak berusaha tapi mendapatkan yang mereka inginkan dengan mudah? Hatiku semakin galau. Hujan mengiringiku dalam peraduan. Setelah lelah berdebat dengan hatiku, aku terlelap dan berharap saat pengumuman itu aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Pengumuman cadangan diumumkan hari ini setelah para siswa yang telah dinyatakan lulus melakukan pendaftaran ulang di sekolah tersebut. Aku berharap hari ini mendapatkan kabar gembira. Aku berusaha optimis dari sebelumnya. Ini kesempatanku yang terakhir. Dua papan besar dengan puluhan kertas telah ditempel di atasnya. Puluhan siswa yang belum tahu nasibnya seperti diriku berkerumun di depan papan itu. Seperti anak ayam yang diberi makan. Berdesak desakkan dengan menaruh harapan namanya tertempel di papan tersebut. Akhirnya aku bisa menerobos kerumunan itu. Aku meneliti satu per satu kertas yang ada di papan itu berharap namaku. Aku melihatnya lagi dengan seksama. Aku tahu nomor urutan itu. Nomor itu dikuti dengan nama pendaftar ‘Muhammad Idris’. Alhamdulillah, aku lulus. Rasanya aku sangat lega dengan hal ini. Tak pernah aku merasa selega ini. Tak henti-hentinya aku berucap syukur kepadaNya. Ternyata ayah benar. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatNya. Mungkin inilah yang terbaik untukku, untuk masa depanku.

Categories:

Leave a Reply